Catatan Sepasang Saudara

on Senin, 15 November 2010
Dear kakak,
Saat aku terbaring, mungkin kenangan itu akan tertayang di balik kelopak mataku. Saat aku berteriak keras memanggil ibu, dan kau datang memelukku. Tanpa sepatah katapun darimu, aku telah mengerti bahwa kau harus menggantikan ibu. Aku terus mengeluarkan jeritan, aku tau itu akan menyakitkan telingamu, dan juga batinmu. Aku tau kaupun ingin menjerit sepertiku, tapi akulah seorang anak 5 tahun yg tak mengerti kekuranganmu. Aku hanya akan mengerti jika kau mengatakan “ibu meninggal”.

Aku bukan anak yang dapat membahagiakan ibu. Walau aku dapat terlahir seperti yang ibu inginkan, tapi kau lebih berhak mendapat belaian ibu. Kau yang pantas memiliki ragaku. Kakak, keterbatasanmu membuat hatimu lapang. Aku iri terhadapmu yg diberi kesempatan lebih lama untuk memiliki ibu dibandingkan aku.

Inilah aku. Aku tidak pernah mengerti sebuah ucapan. Aku hanya mengerti jerit tangis. Hingga kini, aku tetap tersesat dalam rumitnya permainan hidup.


Dear adik,
Aku memang tak sesempurna dirimu. Aku terlahir tanpa bisa berucap. Aku sadar aku gak akan bisa gantikan sosok ibu dimata mu. Tapi setiap saat aku berharap, hatiku dapat mengucap kata kata penghibur untuk mu. Aku tidak menerima bekal apapun dari ibu untuk mendidik mu. Aku hanya gadis berumur 10 tahun saat kau berteriak memanggil ibu yang telah tiada. Batin ku memang teriris. Tapi apa yg bisa aku katakan padamu ?. aku hanya bisa memelukmu.

Sejak itu, aku belajar untuk membuang rasa iriku pada mu atas keterbatasan ku ini. Karena sejak saat itu, akulah ibumu. Kaulah malaikat ibu, aku telah berjanji pada hatiku untuk menjagamu bagai malaikat.

Biarkan saja batinku hancur. Ragaku telah terlanjur tak sempurna. Tapi aku ingin batin mu sesempurna ragamu. Maka bangunlah , dik. Jangan biarkan obat-obatan itu menjadi penyebab kematianmu.

0 komentar:

Posting Komentar